Oleh: Dayyan Zakky Salam
Ketua Umum Forum Mahasiswa Hukum Samawa Universitas Mataram
Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa kembali menjadi fokus diskusi di masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB). Di berbagai forum, baik yang formal maupun informal, suara dukungan terhadap pemekaran wilayah ini semakin menguat. Tuntutan ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk mempercepat pembangunan yang merata, memperkuat pelayanan publik, dan memberikan ruang lebih banyak bagi kearifan lokal Pulau Sumbawa untuk berkembang.
Namun, dalam semangat euforia ini, sebaiknya kita menelisik lebih dalam: apakah ini benar-benar aspirasi rakyat, atau sekadar ambisi dari elite yang menyamarkan kepentingan pribadi dalam suara rakyat?
Kesenjangan yang Meningkat, Apa Solusinya?
Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Pulau Sumbawa menghadapi tantangan pembangunan yang serius. Akses jalan yang buruk, fasilitas pendidikan yang minim, layanan kesehatan yang tidak memadai, dan tingkat kesejahteraan yang masih tertinggal dibandingkan Lombok, yang kini berstatus sebagai pusat administrasi di Provinsi NTB, menjadi masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ketimpangan ini menjadi argumen utama bagi para pendukung pemekaran.
Namun, perlu ditanyakan: apakah pembentukan provinsi baru adalah satu-satunya atau bahkan solusi terbaik? Ketika akar masalah utama terletak pada pola distribusi anggaran, niat perencanaan pembangunan daerah yang lemah, serta birokrasi yang terlalu sentralistis dan elitis, membentuk provinsi baru mungkin hanya akan menambah beban administratif tanpa menyentuh akar permasalahan yang ada.
Refleksi dari Pemekaran Wilayah Sebelumnya
Sejarah mencatat banyak pemekaran daerah yang justru tidak membawa dampak positif bagi masyarakat. Berdasarkan laporan evaluasi dari lembaga terkait, lebih dari 70% daerah hasil pemekaran mengalami kesulitan dalam mandiri secara fiskal dan administratif. Alih-alih menjadi pusat pertumbuhan baru, banyak yang malah menjadi beban bagi negara.
Kemungkinan besar, jika Provinsi Pulau Sumbawa terbentuk, ia hanya akan menjadi “provinsi elitis”, dengan elit baru yang menikmati kekuasaan baru, sementara masyarakat tetap menghadapi masalah lama seperti kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya akses layanan publik yang layak.
Siapa yang Diuntungkan?
Wacana pemekaran sering kali menjadi arena politik identitas dan proyek kekuasaan. Ketika muncul peluang untuk jabatan baru – dari gubernur, DPRD provinsi, hingga pejabat struktural lainnya – maka peluang politik pun terbuka lebar. Sayangnya, dalam banyak kasus, masyarakat cuma dijadikan alat legitimasi, bukan penerima manfaat utama.
Patut dicermati, sejauh mana masyarakat Sumbawa benar-benar memahami dan mendukung agenda ini? Apakah ada ruang partisipatif yang memungkinkan suara masyarakat dari kalangan bawah, bukan hanya suara elite atau birokrasi?
Menemukan Jalan Tengah: Otonomi Berkeadilan
Pemekaran wilayah bukanlah hal yang tabu, terutama jika prosesnya dipersiapkan dengan baik. Namun, penting untuk bersikap kritis dan rasional. Jika tujuan utama adalah pemerataan pembangunan dan penguatan layanan publik, maka ada cara lain yang lebih strategis dan realistis.
Pemerintah provinsi NTB perlu didorong untuk melakukan distribusi anggaran yang lebih equitable. Penguatan kelembagaan di tingkat kabupaten/kota, perencanaan pembangunan yang berbasis partisipasi publik, dan transparansi anggaran bisa menjadi solusi nyata tanpa menunggu keputusan politik dari pusat yang belum pasti datang.
Menyusun Evaluasi yang Rasional dan Strategis
Dalam konteks kebijakan publik, setiap pemekaran—baik untuk provinsi maupun daerah mandiri—harus dilaksanakan berdasarkan evaluasi yang rasional dan berbasis data. Seberapa siap sumber daya manusia dan infrastruktur? Apakah mampu menopang pembiayaan yang diperlukan? Apakah masyarakat benar-benar paham akan implikasi jangka panjang dari pemekaran tersebut? Yang paling penting, adakah jaminan bahwa pemekaran ini akan benar-benar meningkatkan kualitas hidup masyarakat?
Pemekaran wilayah bukan sekadar soal menciptakan pemerintahan baru, tetapi juga berkaitan dengan perancangan sistem pelayanan, pembiayaan, dan partisipasi warga. Tanpa rencana induk yang jelas, pemekaran tersebut hanya akan menambah masalah baru.
Menggali Opsi Lain yang Relevan
Jika cita-cita utama adalah memberikan pelayanan publik yang lebih dekat, efisien, dan adil, maka sudah saatnya kita terbuka untuk opsi peningkatan status kota administratif, reformasi tata kelola kabupaten, atau penguatan mekanisme distribusi anggaran yang berpihak pada wilayah yang tertinggal.
Pulau Sumbawa memiliki sumber daya dan semangat kolektif yang tidak kurang. Yang diperlukan adalah arah strategis yang jelas yang benar-benar memprioritaskan kebutuhan masyarakat daripada kepentingan politik sesaat.
Penutup
Diskusi mengenai pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa bukan sekadar tentang pilihan administratif. Ini adalah kesempatan untuk menentukan arah pengelolaan, jalur pembangunan, dan nilai-nilai demokrasi lokal kita. Setiap opsi memiliki implikasi, dan setiap keputusan akan membawa konsekuensi.
Sebagai masyarakat yang peduli, kita harus menjadi pengingat akan pentingnya akal sehat dalam proses ini. Menolak euforia yang tanpa dasar, sambil menuntut bukti nyata bahwa setiap langkah pemekaran benar-benar diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar demi kepentingan kekuasaan.
Wacana ini merupakan momen penting untuk menguji kedewasaan demokrasi lokal. Aspirasi mungkin layak diperjuangkan, tetapi harus disertai dengan kejujuran: apakah ini benar-benar untuk rakyat atau sekadar proyek untuk sekelompok elit? Sebagai generasi muda Sumbawa, saya sangat mendukung ide pemekaran ini, tetapi satu hal yang pasti: Provinsi baru tidak akan berarti banyak tanpa perubahan pada sistem lama yang ada.