Masyarakat di Krama Pura, lingkungan Batu Dawa, Kelurahan Tanjung Karang, Kota Mataram, belakangan ini menunjukkan penolakan yang tegas terhadap rencana eksekusi lahan makam (kuburan) Umat Hindu oleh Pengadilan Negeri Mataram. Penolakan ini berawal dari Surat Penetapan Eksekusi yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat, yang menandai pelaksanaan eksekusi yang dijadwalkan pada Kamis, 22 Mei 2025.
Dalam sebuah pengamatan, puluhan warga berkumpul sejak pagi untuk menjalani upaya perlindungan terhadap lahan kuburan yang terancam dieksekusi. Meskipun akhirnya eksekusi ditunda, hal ini tidak membuat warga merasa tenang. Mereka tetap menunggu di lokasi, menunjukkan komitmen yang kuat untuk mempertahankan tanah yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari warisan budaya dan spiritual mereka.
Sejarah dan Makna Lahan Makam bagi Masyarakat
Lahan yang dipermasalahkan selama ini digunakan sebagai tempat ritual pemakaman dan prosesi pembakaran jenazah (Pengabenan) oleh Umat Hindu. Seorang warga, Sangke, dengan tegas menyampaikan bahwa tanah ini telah digunakan selama ratusan tahun dan merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Krama Pura Batu Dawa. Ia menegaskan betapa pentingnya lokasi ini bagi komunitas mereka, tidak hanya sebagai tempat pemakaman tetapi juga sebagai refleksi dari nilai-nilai budaya dan spiritual.
Masyarakat merasa bahwa gugatan eksekusi ini telah dilakukan secara sepihak dan tanpa pemberitahuan kepada mereka atau ahli waris dari yang saat ini berada di dalam kuburan. Keberatan ini menggarisbawahi keraguan masyarakat akan keabsahan klaim atas hak kepemilikan yang diajukan oleh pihak penggugat, yang tidak dianggap sah oleh mereka.
Dinamika Hukum dan Kepemilikan Tanah
Di sisi lain, kuasa hukum masyarakat setempat memberikan penjelasan mengenai asal-usul sengketa lahan ini. I Gde Pasek Sandiartyke, SH., mengungkapkan bahwa eksekusi tersebut berdasarkan gugatan dari pihak Kompiang Wisastra Pande, yang telah meninggal, dan dilanjutkan oleh para ahli warisnya. Namun, dalam proses hukum sebelumnya, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pihak penggugat berhak atas lahan kuburan yang dianggap milik Krama Pura Batu Dawa.
Gugatan yang mendorong eksekusi ini, dilihat dari pengamatan historis, menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa sebelumnya tidak melibatkan Krama Pura Batu Dawa. Oleh karena itu, masyarakat merasa hak-hak mereka terabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pantas. Kuasa hukum mereka menambahkan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pura Dalem masih sah dan menjadi landasan bagi para pembela lahan ini untuk terus berjuang.
Terkait eksekusi yang dijadwalkan kembali, Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram, Lalu Moh Sandi Iramaya, menegaskan bahwa eksekusi tetap akan dilakukan meskipun ada penolakan dari masyarakat. Dia menekankan bahwa secara hukum, kepemilikan lahan sudah ditegaskan dan pihak masyarakat tidak memiliki hak atas lahan tersebut. Dalam pandangan hukum, pengadilan menjalankan kewenangannya untuk memastikan hak kepada pemilik yang sah.
Masyarakat yang menolak, menurutnya, tidak dapat dianggap sebagai pihak yang teraniaya, sebab proses hukum telah dijalankan. Dengan begitu, diskusi tentang siapa yang berhak atas lahan tersebut menjadi hal yang sudah diputuskan secara sah oleh pengadilan.
Kesimpulannya, dinamika antara masyarakat dan proses hukum dalam kasus ini menjadi contoh menarik mengenai betapa pentingnya peran tradisi dan hukum dalam konflik tanah. Harapan masyarakat adalah agar keadilan dapat terwujud dan menghormati nilai-nilai budaya serta kepemilikan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Berlanjutnya proses dan eksekusi, meski ditentang, menambah kompleksitas dalam masalah ini, dan sebagai kuasa hukum berharap bahwa keputusannya nantinya bisa berpihak pada keadilan yang sejalan dengan norma-norma yang berlaku.