Kepolisian Daerah NTB tengah melakukan proses penyelidikan serius terkait dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang dosen dari perguruan tinggi di Mataram. Tim penyidik telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dengan merekonstruksi sebanyak 65 adegan yang berlangsung pada 22 Mei 2025.
Dalam kegiatan ini, perwakilan kepolisian mengungkapkan bahwa rekonstruksi kali ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan para korban serta terduga pelaku. Ini menunjukkan komitmen polisi dalam menangani kasus serius yang berdampak pada banyak individu.
Proses Olah TKP dan Rekonstruksi
Rekonstruksi dilakukan di dua lokasi penting: kamar tempat tinggal terduga pelaku di asrama serta ruang sekretariat mahasiswa. Dari kedua lokasi itu, terungkap bahwa terdapat 49 adegan yang diperagakan di kamar asrama dan 16 adegan yang diperagakan di ruang sekretariat. Ini adalah langkah penting untuk menggali kebenaran berdasarkan keterangan dari korban.
Kasus ini kini telah memasuki tahap penyidikan lebih lanjut. Polisi juga menyelidiki apakah ada elemen paksaan dalam tindakan pelaku, mengingat jumlah korban yang terlibat lebih dari satu. Temuan ini menunjukkan kompleksitas kasus dan perlunya perhatian lebih dalam penanganannya.
Menanggapi Kasus Pelecehan
Perwakilan dari Koalisi Stop Kekerasan Seksual menyampaikan bahwa rekonstruksi yang dilakukan oleh pihak kepolisian sejauh ini telah sesuai dengan keterangan dan kronologi yang diajukan oleh para korban. Ini mengisyaratkan bahwa adanya keseriusan dari pihak berwenang untuk mendorong keadilan bagi para korban.
Hingga saat ini, tujuh korban yang telah teridentifikasi menceritakan bahwa pelecehan seksual ini berlangsung sejak tahun 2021 hingga 2024, dengan kebanyakan kejadian terjadi di lingkungan asrama pada malam hari. Modus operandi pelaku tampaknya melibatkan manipulasi relasi kuasa, mengundang korban ke dalam situasi yang tidak aman dan memanfaatkan kepercayaan yang telah dibangun selama ini.
Ironisnya, banyak laporan awal yang dilayangkan oleh korban kepada pihak kampus tidak mendapatkan respons yang layak. Terdapat indikasi bahwa upaya untuk menutup-nutupi kasus ini pernah terjadi, yang membuat harkat dan martabat korban semakin tertekan. Hal ini menyoroti pentingnya transparansi dan kesigapan dari lembaga pendidikan dalam menangani dugaan pelecehan.
Karena itu, beberapa korban kemudian mencari bantuan dari lembaga pendamping eksternal untuk mendapatkan dukungan psikologis dan hukum. Proses pemulihan ini menjadi sangat krusial, karena para korban membutuhkan waktu untuk kembali berani mengungkapkan pengalaman mereka tanpa rasa takut akan stigma atau penolakan.
Saat ini, koalisi terkait tengah mengajukan permohonan untuk mendapatkan pendampingan hukum dari lembaga yang berwenang. Ini adalah langkah positif untuk memastikan bahwa para korban mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan dalam proses hukum yang melibatkan terduga pelaku.
Keberanian para korban untuk bersuara juga dipicu oleh media, termasuk serial televisi yang menggugah kesadaran tentang pentingnya mengungkap pengalaman hidup yang penuh trauma. Ini menunjukkan bahwa budaya berbagi dan saling mendukung dapat memainkan peran penting dalam keberanian individu untuk melawan ketidakadilan.
Dalam rangka memperjuangkan keadilan, semua pihak diharapkan dapat bersatu dan mengambil tindakan nyata untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Pendidikan tentang kekerasan seksual dan dukungan bagi para korban harus menjadi prioritas utama bagi institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua individu.