www.tempoaktual.id – Pemerintah Indonesia mencatatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp197 triliun hingga semester pertama tahun 2025. Angka ini setara dengan 0,81 persen dari produk domestik bruto (PDB), menunjukkan pelebaran defisit dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp77,3 triliun atau 0,34 persen dari PDB.
Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa penyebab utama pelebaran defisit adalah penurunan penerimaan negara, terutama pada bulan Januari dan Februari 2025. Meskipun demikian, dia optimis bahwa kondisi ini akan membaik di semester kedua tahun ini.
Kementerian Keuangan juga melaporkan bahwa realisasi pendapatan negara hingga Juni 2025 hanya mencapai Rp1.210,1 triliun, yang merupakan 40 persen dari target tahun ini. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp1.320,7 triliun.
Situasi Penerimaan Negara dan Penyebab Penurunan
Penurunan penerimaan negara disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah melemahnya harga minyak mentah Indonesia (ICP). Selain itu, pengalihan dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara juga berkontribusi terhadap penurunan ini.
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara terbatas terhadap barang mewah juga berdampak negatif terhadap penerimaan negara. Dengan kondisi ini, jelas terlihat bahwa pemerintah harus lebih bijak dalam mengelola sumber pendapatan.
Walaupun penerimaan negara berkurang, belanja negara pada semester pertama 2025 tetap mengalami pertumbuhan sebesar 0,6 persen dibandingkan tahun lalu. Total realisasi belanja mencapai Rp1.407,1 triliun, yang setara dengan 38,8 persen dari APBN yang ditetapkan.
Pembiayaan Sektor Prioritas dan Keseimbangan Primer
Pemerintah tetap fokus untuk mengalihkan anggaran belanja ke sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pemberdayaan desa juga menjadi perhatian utama dalam belanja negara saat ini.
Ketahanan pangan, energi, dan pertahanan semesta juga menjadi bagian penting dari anggaran yang direncanakan. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional meskipun menghadapi tantangan fiskal.
Meskipun mengalami defisit, pemerintah masih mampu menjaga surplus keseimbangan primer sebesar Rp52,8 triliun pada semester pertama. Keseimbangan primer sangat penting sebagai indikator kemampuan pemerintah dalam membiayai belanja tanpa membebani anggaran dengan pembayaran bunga utang.
Proyeksi Defisit APBN 2025 Hingga Akhir Tahun
Pemerintah memproyeksikan bahwa defisit APBN 2025 hingga akhir tahun akan mencapai 2,78 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp662 triliun. Proyeksi ini mencerminkan harapan bahwa akan ada pemulihan dalam penerimaan negara di semester kedua.
Dalam konteks ini, ada harapan bahwa langkah-langkah yang diambil saat ini dapat memperbaiki keseimbangan fiskal di masa depan. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap pengelolaan ekonomi nasional.
Pengelolaan fiskal yang baik merupakan kunci untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah harus terus berinovasi dalam kebijakan dan strategi dalam mengelola APBN.
Penguatan Nilai Tukar Rupiah dan Pengaruh Eksternal
Di sisi lain, analis mata uang menyatakan bahwa penguatan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh surplus neraca perdagangan Indonesia yang mencapai 4,3 miliar dolar Amerika Serikat pada bulan Mei 2025. Tren positif ini menjadi salah satu indikator stabilitas ekonomi.
Neraca perdagangan Indonesia menunjukkan surplus selama 61 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, dengan kontribusi utama berasal dari komoditas non-migas seperti lemak dan minyak hewani atau nabati. Ini menunjukkan keberlanjutan dalam sektor ekspor meskipun tantangan global terus ada.
Surplus komoditas non-migas mencapai 5,83 miliar dolar AS, sementara defisit komoditas migas tercatat 1,53 miliar dolar AS. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internasional.
Kekhawatiran Investor dan Dampak RUU Pajak di AS
Kekhawatiran investor terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak yang baru di Amerika Serikat turut berperan dalam dinamika nilai tukar. RUU ini berpotensi meningkatkan defisit fiskal hingga 3,8 triliun dolar AS, yang dapat mempengaruhi sentimen pasar global.
Senat AS telah meloloskan RUU pemotongan pajak yang merupakan langkah maju menuju pengesahan sebelum reses pada 4 Juli. Aturan ini mencakup pemotongan pajak dan peningkatan pengeluaran yang jika tidak dikelola dengan baik dapat memicu inflasi jangka panjang.
Investor semakin waspada bahwa kebijakan ini bisa mengikis disiplin fiskal. Jika tidak hati-hati, pemotongan yang agresif dapat berdampak buruk pada stabilitas ekonomi jangka panjang, baik di AS maupun secara global.