Dalam sebuah demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Bima, enam mahasiswa telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perusakan mobil dinas. Peristiwa ini menyoroti tantangan dalam menjaga ketertiban saat aksi protes berlangsung dan dilema antara hak berpendapat dan tindakan yang melanggar hukum.
Peristiwa tersebut terjadi pada 28 Mei 2025, saat sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Cipayung Bima melakukan aksi demonstrasi. Mereka memprotes isu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) yang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Namun, salah satu momen kritis dalam demonstrasi itu berujung pada tindakan anarkis yang merusak kendaraan dinas.
Dinamika Aksi Demonstrasi dan Tindakan Hukum
Enam mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu MY, ES, FS, AD, DY, dan MA, kini ditahan oleh pihak kepolisian. Mereka didakwa dengan Pasal 170 ayat (1) angka 1 KUHP juncto Pasal 212 KUHP, yang dapat mengancam mereka dengan pidana penjara hingga lima tahun enam bulan. Penetapan ini diambil setelah melalui serangkaian prosedur yang ketat, sebagai respons terhadap laporan masyarakat mengenai tindakan perusakan yang terjadi selama demonstrasi.
Kapolres setempat, AKBP Eko Sutomo, menegaskan bahwa penegakan hukum ini merupakan bagian dari tanggung jawab untuk menjaga ketertiban publik. Dia juga menyebutkan bahwa pihak kepolisian tidak memiliki masalah dengan aksi demonstrasi itu sendiri, tetapi lebih kepada tindakan kekerasan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, potensi ancaman terhadap rasa aman masyarakat harus menjadi perhatian utama.
Menguji Batasan antara Ekspresi dan Anarkisme
Pergeseran yang terjadi dalam aksi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai batasan antara hak berunjuk rasa dan potensi tindakan anarkis. Sebagai masyarakat yang demokratis, hak untuk menyampaikan pendapat sangat penting, namun hal itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Mengingat bahwa demonstrasi dilakukan di tempat umum, keselamatan dan keamanan semua pihak harus diutamakan.
Situasi ini mengingatkan kita akan pentingnya edukasi tentang cara berdialog yang konstruktif dan damai. Penegakan hukum yang tegas atas tindakan perusakan bukan hanya untuk memberi efek jera bagi pelanggar, tetapi juga untuk menciptakan kesadaran bahwa suatu aksi protes harus dilakukan dengan cara yang menghormati orang lain. Ini juga membuka peluang bagi dialog antara mahasiswa dan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Dalam sebuah demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Bima, enam mahasiswa telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perusakan mobil dinas. Peristiwa ini menyoroti tantangan dalam menjaga ketertiban saat aksi protes berlangsung dan dilema antara hak berpendapat dan tindakan yang melanggar hukum.
Peristiwa tersebut terjadi pada 28 Mei 2025, saat sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Cipayung Bima melakukan aksi demonstrasi. Mereka memprotes isu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) yang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Namun, salah satu momen kritis dalam demonstrasi itu berujung pada tindakan anarkis yang merusak kendaraan dinas.
Dinamika Aksi Demonstrasi dan Tindakan Hukum
Enam mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu MY, ES, FS, AD, DY, dan MA, kini ditahan oleh pihak kepolisian. Mereka didakwa dengan Pasal 170 ayat (1) angka 1 KUHP juncto Pasal 212 KUHP, yang dapat mengancam mereka dengan pidana penjara hingga lima tahun enam bulan. Penetapan ini diambil setelah melalui serangkaian prosedur yang ketat, sebagai respons terhadap laporan masyarakat mengenai tindakan perusakan yang terjadi selama demonstrasi.
Kapolres setempat, AKBP Eko Sutomo, menegaskan bahwa penegakan hukum ini merupakan bagian dari tanggung jawab untuk menjaga ketertiban publik. Dia juga menyebutkan bahwa pihak kepolisian tidak memiliki masalah dengan aksi demonstrasi itu sendiri, tetapi lebih kepada tindakan kekerasan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, potensi ancaman terhadap rasa aman masyarakat harus menjadi perhatian utama.
Menguji Batasan antara Ekspresi dan Anarkisme
Pergeseran yang terjadi dalam aksi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai batasan antara hak berunjuk rasa dan potensi tindakan anarkis. Sebagai masyarakat yang demokratis, hak untuk menyampaikan pendapat sangat penting, namun hal itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Mengingat bahwa demonstrasi dilakukan di tempat umum, keselamatan dan keamanan semua pihak harus diutamakan.
Situasi ini mengingatkan kita akan pentingnya edukasi tentang cara berdialog yang konstruktif dan damai. Penegakan hukum yang tegas atas tindakan perusakan bukan hanya untuk memberi efek jera bagi pelanggar, tetapi juga untuk menciptakan kesadaran bahwa suatu aksi protes harus dilakukan dengan cara yang menghormati orang lain. Ini juga membuka peluang bagi dialog antara mahasiswa dan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.