www.tempoaktual.id – Baru-baru ini, kasus dugaan eksploitasi seksual terhadap anak di Mataram menarik perhatian luas. ES (22), kakak dari korban, telah ditetapkan sebagai tersangka namun membantah semua tuduhan yang menyatakan bahwa dirinya telah memeras MAA (51) hingga mencapai angka ratusan juta rupiah.
Dalam keterangannya, ES menjelaskan bahwa transfer yang diterima dari MAA tidak pernah melebihi puluhan juta. Ia mengklaim bahwa uang tersebut diberikan agar permasalahan tidak dibawa ke ranah hukum.
ES, yang lebih dikenal sebagai Memey, menjelaskan bahwa setelah terungkapnya kasus ini oleh LPA Mataram, ia segera memberitahukan MAA. Ia menyebutkan bahwa MAA sempat marah dan mengancam akan melakukan kekerasan jika ia berani melaporkan masalah ini.
Memey mengungkapkan bahwa MAA telah menyuruhnya untuk menghindari keterlibatan pihak kepolisian dan menawarkan sejumlah uang sebagai jaminan agar kasus ini tidak berlanjut. Terlepas dari situasi yang genting ini, ES merasa bahwa ada banyak hal yang ingin diungkap untuk menjelaskan kedudukan dirinya dalam kasus tersebut.
Selain itu, ES menyatakan bahwa MAA menanyakan jumlah uang yang seharusnya dibayarkan untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Meskipun dia berharap untuk menemukan solusi, pihak LPA menolak tawaran itu karena berpegang pada prinsip hukum yang berlaku.
Kemudian, ES menugaskan bibinya untuk bernegosiasi dengan LPA, tetapi diskusi tersebut tidak membuahkan hasil. Dalam beberapa pertemuan yang pernah terjadi, ES mengakui bahwa MAA memberikan uang tunai kepada dirinya, meskipun ia menolak anggapan bahwa LPA terlibat dalam transaksi uang tersebut.
Satu hal yang diperjelas oleh ES adalah mengenai total besar uang yang diterimanya dari MAA. Ia pernah mendapat transfer sebesar Rp25 juta yang dianggap sebagai penyelesaian sebelum kejadian ini akhirnya membawanya ke jalur hukum.
Setelah mengembalikan uang sejumlah itu, ES sempat meminta uang lagi untuk membayar pengacara, tetapi MAA menolak dan memutus komunikasi. Situasi ini kemudian membawanya untuk lebih terbuka tentang siapa sebenarnya MAA, hingga keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita Polda NTB.
Mengungkap Pandangan Klien MAA Tentang Pencemaran Nama Baik
Di sisi lain, MAA melalui kuasa hukumnya, Muhamad Sapoan, mengungkapkan bahwa kliennya merasa telah menjadi korban pemerasan yang dilakukan oleh ES. Menurutnya, total angka yang diminta oleh ES mencapai Rp125 juta, baik melalui transfer maupun cash.
Sapoan menambahkan bahwa bukti transfer dan pembayaran tunai telah diterimanya sebagai bukti kuat dalam kasus ini. Menurut kuasa hukum, modus operandi pemerasan ini bertujuan agar MAA tidak melapor kepada pihak kepolisian.
Hal ini menunjukkan ada dua sisi berbeda dari cerita yang terjadi, dan kedua pihak saling menuding satu sama lain. Hal ini menciptakan kebingungan bagi publik dan mengingatkan bahwa dalam kasus hukum, seringkali kebenaran terletak di antara dua versi cerita yang saling bertentangan.
Dalam statementnya, Sapoan menegaskan bahwa kliennya juga terkejut dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ia berharap agar semua pihak yang terlibat dalam kasus ini dapat melihat fakta-fakta yang ada dengan lebih objektif.
Pernyataan LPA Tentang Keterlibatan Pihak Ketiga
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, turut memberikan penjelasan terkait isu bahwa lembaganya terlibat dalam pemintaan uang dari ES. Dengan tegas, ia membantah segala tuduhan tentang adanya transaksi tersebut.
Joko menjelaskan bahwa prosedur di LPA selalu mengharuskan keberadaan minimal dua orang ketika berinteraksi dengan korban. Hal itu menjadi alasan mengapa ia yakin tidak ada permintaan uang yang dibuat oleh lembaganya.
Pernyataan Joko menjadi bagian penting dari klarifikasi situasi ini, terutama untuk menjaga integritas lembaga yang bertugas melindungi anak-anak. Ia juga mengharapkan masyarakat tidak terjebak dalam isu dugaan suap yang tidak berdasar.
Implikasi Hukum Dari Kasus Ini Dan Penanganan Selanjutnya
Dari pihak kepolisian, kasus ini merupakan salah satu bentuk tindak pidana eksploitasi seksual yang sangat serius. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Pasal 88 jo Pasal 76i dari Undang-Undang Perlindungan Anak.
Meskipun ES telah berstatus sebagai tersangka, pihak kepolisian memutuskan untuk tidak menahan dirinya mengingat ia memiliki seorang anak balita yang perlu dirawat. Keputusan ini mengundang pro dan kontra di masyarakat, menyangkut keadilan dan perlindungan kepada anak.
Dalam penyelidikan yang berlangsung, terungkap bahwa ES diduga memainkan peran aktif dalam menjual adiknya dengan iming-iming mengalihkan perhatian pada barang elektronik baru. Hal ini menyoroti kompleksitas dari masalah eksploitasi seksual yang seharusnya mendapat perhatian lebih dalam konteks sosial.
Dengan berbagai aspek yang terlibat, dari masalah hukum, hak anak, hingga isu moral, kasus ini menjadi salah satu contoh kasus yang sulit, namun tetap penting untuk ditangani secara profesional dan transparan. Keterlibatan masyarakat dalam memberikan dukungan juga akan sangat berarti bagi penyelesaian masalah ini secara adil.