Jakarta– Wakil Menteri Hukum, Edward O.S. Hiariej, menegaskan bahwa Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus diselesaikan pada tahun 2025. Hal ini krusial karena KUHAP berhubungan erat dengan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku per tanggal 2 Januari 2026.
“Dalam konteks ini, RUU KUHAP tidak bisa diabaikan. Baik suka maupun tidak, RUU ini harus disahkan pada tahun 2025. Proses pengesahan ini sangat penting mengingat dampak signifikan yang dimilikinya terhadap KUHP,” ungkap Eddy dalam sebuah acara Webinar Sosialisasi RUU KUHAP.
Pentingnya Penyelesaian RUU KUHAP
Dalam RUU KUHAP yang dirancang ini terdapat pergeseran penting dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pasal-pasal mengenai penahanan merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan; setelah 2 Januari 2026, ada pasal-pasal yang tidak lagi berlaku. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum tidak akan memiliki legitimasi untuk melakukan penahanan lagi jika tidak ada pembaruan dalam RUU KUHAP.
Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya ketentuan yang tidak lagi relevan pada saat itu, akan ada kekosongan legalitas yang dapat mengancam kestabilan dan keadilan dalam proses hukum. Sebuah RUU yang baru diperlukan supaya penegakan hukum dapat dilakukan dengan adil dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menuju Proses Hukum yang Berkeadilan
Wakil Menteri juga menjelaskan bahwa RUU KUHAP yang baru ini menunjukkan pergeseran paradigma dari model kontrol kriminal menjadi model proses yang lebih adil. Di dalam model ini, perlindungan hak asasi manusia mendapatkan perhatian yang lebih besar. Menurut Eddy, penting untuk memastikan bahwa setiap orang dihormati hak-haknya, bahkan sebelum proses hukum benar-benar dimulai.
“Kita harus ingat bahwa seseorang tidak boleh langsung dianggap bersalah hanya karena ditangkap atau ditahan. Perlindungan hak asasi manusia itu esensial dalam upaya memastikan keadilan,” tambah Eddy. Khalayak perlu memahami bahwa perubahan ini bertujuan untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Dalam pandangan Eddy, RUU KUHAP yang diusulkan juga lebih mengedepankan pendekatan keadilan restoratif. Ini adalah langkah maju yang memperlihatkan bahwa sistem hukum di Indonesia mulai berkembang menuju pendekatan yang lebih manusiawi, di mana keadilan tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi juga pada rehabilitasi dan pemulihan. Pendekatan seperti ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendorong reintegrasi individu ke masyarakat.
Melihat dampak besar yang dihasilkan oleh KUHAP baru, penting bagi setiap pemangku kepentingan untuk terlibat dalam penyusunannya. Kemenkum telah menggandeng berbagai pihak, termasuk tenaga ahli, kementerian, lembaga, advokat, koalisi masyarakat sipil, dan civitas akademika, untuk mendapatkan masukan yang konstruktif.
“Partisipasi publik menjadi kunci dalam proses penyusunan RUU ini. Kami ingin memastikan bahwa segala masukan diterima, terutama dari pihak advokat yang bertugas melindungi hak asasi individu dalam proses hukum,” ungkapnya. Inisiatif ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk membuat hukum yang tidak hanya efektif tetapi juga berkeadilan dan melindungi hak semua pihak.