Pertumbuhan ekonomi yang stagnan seringkali menjadi isu nyata bagi banyak daerah, termasuk Nusa Tenggara Barat (NTB). Baru-baru ini, kritik datang dari Menteri Dalam Negeri yang menyebut pertumbuhan ekonomi NTB mengalami kontraksi mencapai 1,47 persen di triwulan pertama tahun 2025. Memahami situasi ini adalah langkah awal untuk mencari solusinya.
Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, Lalu Gita Ariadi, menegaskan bahwa Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, telah memberikan penjelasan yang menyeluruh kepada Menteri Dalam Negeri. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk transparan dan responsif terhadap kritik serta proaktif mencari jalan keluar atas permasalahan yang ada.
Analisis Kontraksi Ekonomi di NTB
Kontraksi yang dialami oleh NTB tentunya menjadi perhatian serius bagi pemangku kebijakan. Sektor pertambangan yang menyusut hingga 30,14 persen menjadi penyebab utama penurunan ini. Sementara di sisi lain, sektor pertanian, yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal, justru menunjukkan kinerja positif dengan pertumbuhan mencapai 10,18 persen. Ini adalah angka yang signifikan dan menjadi harapan bagi pemulihan ekonomi NTB di masa mendatang.
Menurut data yang ada, pertumbuhan sektor non-tambang di NTB mencapai 5,58 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sektor tertentu mengalami penurunan, ada sektor lain yang mampu berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi. Tentunya, pemerintah daerah perlu lebih fokus untuk mengembangkan sektor-sektor ini agar dapat mengimbangi ketergantungan pada sektor tambang, yang saat ini tengah mengalami kesulitan.
Strategi Pemulihan Ekonomi NTB
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah daerah sudah mengambil langkah-langkah proaktif, termasuk mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat untuk relaksasi ekspor konsentrat tambang PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Ini adalah strategi yang cerdas, mengingat dengan memberikan izin ekspor, diharapkan dapat membantu meningkatkan kapasitas produksi dan mengembalikan kontribusi sektor tambang terhadap pertumbuhan ekonomi.
Gita menyebutkan bahwa dengan adanya smelter, harapan untuk meningkatkan produksi bisa tercapai. Namun, perlu menjadi perhatian bahwa saat ini NTB dalam fase transisi kepemimpinan, yang membuat optimalisasi produksi belum sepenuhnya terwujud. Permintaan izin ekspor yang ditolak oleh pemerintah pusat karena kondisi tidak memenuhi syarat kahar juga menjadi penghambat. Ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dan pusat agar kebijakan yang diambil benar-benar mendukung kondisi ekonomi di daerah.
Secara keseluruhan, tantangan yang dihadapi NTB tidak hanya terpaut pada satu sektor saja. Oleh karena itu, perlu kiranya ada kolaborasi semua sektor untuk menghadapi ketidakpastian ini. Pemda dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan solusi yang tidak hanya situasional, tapi juga berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing daerah.
Situasi ini menjadi pelajaran penting bahwa ketergantungan pada sektor tertentu bisa membawa risiko yang signifikan. NTB perlu memperkuat sektor-sektor yang memiliki potensi besar dan mengurangi eksposur terhadap fluktuasi pasar di sektor tambang. Dengan cara ini, ekonomi NTB diharapkan dapat tumbuh lebih stabil di masa mendatang.