Kebijakan moratorium ekspor konsentrat tambang menjadi isu yang hangat dibicarakan, khususnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam konteks ini, dampaknya terhadap perekonomian lokal sangat signifikan, terutama di sektor pertambangan yang mengalami penurunan tajam.
Menarik untuk dicermati, pada triwulan pertama tahun 2025, perekonomian NTB dilaporkan mengalami kontraksi, baik secara kuartalan maupun tahunan. Dengan angka minus 2,32 persen secara kuartalan dan minus 1,47 persen secara tahunan, kondisi ini tentunya memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis.
Analisis Dampak Ekonomi dari Kebijakan Moratorium
Kontraksi terbesar terlihat pada sektor pertambangan dan penggalian yang menyusut hingga 30,14 persen. Penurunan ini sangat berkaitan dengan kebijakan hilirisasi yang mengharuskan pengolahan konsentrat dalam negeri sebelum diekspor. Namun, kapasitas pengolahan smelter di beberapa daerah masih jauh dari optimal, menciptakan masalah dalam hal produksi.
Berdasarkan data yang ada, banyak smelter di NTB, seperti milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara, belum mampu beroperasi dengan maksimal. Daya serap yang masih di bawah 60 persen menunjukkan bahwa infrastruktur pengolahan belum siap untuk mendukung kebijakan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, ada urgensi untuk meningkatkan kapasitas smelter dan fasilitas terkait agar dapat mengoptimalkan produksi dan memenuhi kebutuhan ekspor.
Strategi dan Tindakan yang Perlu Dilakukan
Menghadapi permasalahan ini, pemerintah daerah perlu segera mengambil inisiatif untuk melobi pemerintah pusat demi melonggarkan kebijakan ekspor. Kebijakan yang terlalu ketat, sementara infrastruktur pengolahan masih bermasalah, hanya akan memperburuk kondisi perekonomian. Dalam hal ini, komunikasi yang efektif antara gubernur dan pemerintah pusat sangat diperlukan agar ada relaksasi dalam kebijakan tersebut.
Selain itu, penting bagi pemprov untuk mendorong PT AMNT dan perusahaan tambang lainnya agar mempercepat pembangunan fasilitas pendukung smelter. Hal ini guna memastikan bahwa sektor pertambangan dapat beroperasi dengan baik dan dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tersebut.
Jika langkah-langkah strategis ini tidak diambil, dikhawatirkan potensi penurunan pendapatan dari sektor tambang akan semakin besar, yang pada gilirannya bisa memengaruhi semua sektor ekonomi di NTB. Ketersediaan konsentrat yang menumpuk akibat pengolahan yang tidak optimal akan menjadi masalah baru yang harus dihadapi.