Kasus dugaan tindak pidana korupsi selalu menjadi sorotan publik, dan hal ini juga terjadi di Mataram. Saat ini, penyidik Unit Tindak Pidana Korupsi Polresta Mataram tengah menelusuri aliran dana sewa alat berat yang diduga merugikan negara. Melibatkan mantan pejabat Dinas PUPR NTB, kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana publik.
Fakta bahwa penyidik telah memanggil mantan Kepala Balai, Ali Fikri, serta istrinya untuk dimintai keterangan menunjukkan keseriusan dalam menangani kasus ini. Menurut keterangan awal, saksi bernama Efendy mengklaim bahwa ia mentransfer uang sewa yang seharusnya disetorkan ke pemerintah ke rekening istri Ali Fikri. Pertanyaannya, sejauh mana pengawasan dan mekanisme kontrol yang ada di dalam proses pengadaan dan sewa alat berat ini?
Dugaan Penyelewengan Dana Sewa Alat Berat di Kabupaten Mataram
Dalam penelusuran kasus ini, dua dokumen berbeda terkait penyewaan alat berat ditemukan, satu di tangan Ali Fikri dan satu lagi di pihak saksi Efendy. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses administrasi yang seharusnya lebih transparan. Penyidik kini berupaya untuk menyinkronkan informasi ini dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar mengungkap kebenaran di balik kasus ini.
Data yang terungkap mencatat penyewaan alat berat berlangsung selama 125 jam, namun hanya 20 jam yang tercatat dalam dokumen versi Ali Fikri. Kecocokan data-data ini sangat krusial untuk menentukan sejauh mana kerugian negara akibat penyelewengan ini. Penegakan hukum yang tegas dapat menjadi lampu merah bagi praktik-praktik serupa di masa mendatang.
Strategi Penanganan Kasus dan Langkah Selanjutnya oleh Pihak Berwenang
Kasatreskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada penetapan tersangka, karena mereka masih menunggu hasil audit resmi dari BPKP. Ini menandakan bahwa pihak kepolisian sangat berhati-hati dalam melakukan proses hukum, dan tidak ingin salah langkah. Proses audit yang akurat diharapkan dapat mengungkap besaran kerugian negara dan pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan penyelewengan ini.
Apalagi, Ali Fikri membantah adanya pengalihan dana ke rekening istrinya, dan menyatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan kontrak sewa setelah dirinya tidak lagi menjabat bukan urusannya. Kontroversi ini menciptakan ruang penting untuk diskusi lebih lanjut mengenai transparansi dan akuntabilitas di sektor publik, yang menjadi isu sentral dalam reformasi administrasi pemerintah saat ini.