www.tempoaktual.id – Jakarta – Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan terhadap Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dengan pidana penjara tujuh tahun. Tuntutan tersebut berkaitan dengan kasus korupsi dalam importasi gula yang terjadi di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015 hingga 2016.
Jaksa menyatakan, “Kami menuntut pidana terhadap Thomas Trikasih Lembong selama tujuh tahun, yang dihitung dari masa tahanan sementara.” Tuntutan ini disampaikan dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada 4 Juli 2025.
Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Lembong untuk membayar denda sebesar Rp750 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka ia akan menjalani hukuman tambahan berupa kurungan selama enam bulan.
Tindakan Korupsi yang Dilakukan oleh Thomas Lembong
Menurut jaksa, Thomas Lembong terbukti berkolaborasi dengan pihak-pihak lain dalam pelanggaran ini, termasuk mantan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia. Lembong dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 dari Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari dakwaan yang disusun, terungkap bahwa kerugian negara akibat tindak pidana ini mencapai Rp578,1 miliar. Kerugian tersebut disebabkan oleh pengeluaran surat pengakuan impor gula tanpa prosedur yang benar.
Jaksa menjelaskan, surat pengakuan impor tersebut diberikan kepada sepuluh perusahaan tanpa dukungan rapat koordinasi antarkementerian, melanggar ketentuan yang ada. Keputusan ini diambil meski diketahui bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih.
Pelanggaran dan Kerugian yang Ditimbulkan
Dalam perjalanan kasus ini, Lembong juga diketahui tidak menunjuk perusahaan-perusahaan BUMN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula. Sebaliknya, ia memilih lembaga-lembaga koperasi yang tidak terkait langsung dengan pengendalian gula.
Melalui kebijakan tersebut, sepuluh perusahaan yang diuntungkan diperkirakan mampu meraup keuntungan sebesar Rp515,4 miliar. Hal ini menjadi pernyataan kuat bagi jaksa dalam merumuskan tuntutan agar Lembong mendapatkan hukuman yang berat.
Jaksa mengindikasikan bahwa tindakan Lembong ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk memberantas korupsi. Terlepas dari ketidakpuasan masyarakat melalui langkah-langkah tersebut, terdapat pertimbangan yang memberatkan ketika membuat keputusan hukum.
Pertimbangan dalam Menjatuhkan Hukuman
Dalam memutuskan tuntutan, jaksa mengungkapkan bahwa faktor utama yang memberatkan adalah ketidakberdayaan Lembong untuk mengakui kesalahan. Ketiadaan rasa penyesalan ini dianggap menghambat usaha untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari praktek korupsi.
Namun, faktor lain yang mungkin meringankan adalah status Lembong yang belum pernah dihukum sebelumnya. Dalam pandangan jaksa, momen ini dapat menjadi pertimbangan untuk memberikan hukuman yang lebih ringan, meskipun kasusnya serius.
Dalam sidang, Lembong memberikan tanggapan atas tuntutan yang dinyatakan oleh jaksa. Ia mengklaim bahwa fakta di lapangan dan persidangan tidak sepenuhnya terwakili dalam tuntutan tersebut, dan ia merasa telah kooperatif selama proses pengusutan.
“Saya siap menghadapi tuntutan apa pun,” ucapnya setelah persidangan. “Namun, semua yang saya lakukan dari awal sudah sangat kooperatif, bahkan datang sendiri meskipun tanpa pengacara.”
Menurut Lembong, sikap kooperatifnya terlihat dari cara ia memenuhi panggilan pihak berwenang, dan ia berharap semua usaha itu diperhitungkan dalam proses hukum. Dikatakannya, ia tidak hanya ingin menjalani sidang ini, tetapi juga mendorong keinginan untuk menciptakan suasana yang kondusif sepanjang perjalanannya sebagai terdakwa.
Lembong menambahkan, “Saya sudah berada dalam tahanan selama delapan bulan, dan itu tidak turut dicerminkan dalam tuntutan yang dilayangkan.” Pengalaman ini menggambarkan betapa rumitnya dinamika antara hukum dan politik dalam proses penegakan suatu kasus korupsi.